Repost tulisan di Facebook 25 Desember 2015
Makanan yang sedang kita buat atau kita makan seringkali mengingatkan kita kepada seseorang. Demikian pula dengan masakan telur bumbu bali yang pertama kali saya mengenalnya dari kakak sepupu saya, Mas Danang Catur Nugroho (alm) yang telah berpulang lebih 10 tahun yang lalu.
Mas Danang semasa hidupnya gemar memasak makanan sendiri dan cukup enak. Khusus telur bumbu bali, beliau suka tomat yang banyak, sekitar satu kilogram untuk sekali
masak.
Suatu hari di pertengahan tahun 1993 setelah saya diterima UMPTN di Kesehatan Masyarakat Undip, Semarang, saya sempat tinggal di rumah budhe Muryani almh di daerah Wonodri Kebondalem, di belakang SMA Sultan Agung Semarang yang cukup dekat dengan kampus Undip Pleburan.
Saya yang waktu itu belum mengenal kota Semarang, mengurus keperluan sebagai mahasiswa baru dari rumah budhe. Setelah menyelesaikan administrasi di kampus pusat Undip Pleburan, lalu dilanjutkan mengurus ke PSKM namanya waktu itu atau Program Studi Kesehatan Masyarakat FK Undip.
" Kampusmu nggak disini dik, tapi di Tembalang, di atas sana. Nanti tak anter " begitu kata Mas Danang waktu itu. Dan dengan angkutan umum kijang warna orange dan dilanjutkan angkutan plat hitam waktu itu, kami berdua pergi ke Undip Tembalang.
Pertama kali turun di lapangan sepakbola di depan kampus D3 politeknik, saya melihat ke sekeliling. Kok sepi sekali ya. Hawanya juga dingin dingin sejuk.
" Memang tempate masih sepi dik, karena ini kampus baru. Tapi besuk tempat ini bakalan rame karena Undip S1 nya mau naik semua ". Jelasnya seolah membaca pikiran saya.
Belum hilang keheranan saya ternyata dari jalan raya, kami masih harus jalan kaki sekitar 300m karena PSKM letaknya di belakang D3 Poltek Undip berdekatan dengan FNGT atau Fak Non Gelar Teknik waktu itu.
" Nanti dek Ndayu cari kost di sekitar sini saja. Biar nggak kejauhan ". Begitu saran mas Danang. Beliau juga sempat bilang sambil guyon, kalo teman saya nanti orangnya sudah tua tua. Di kemudian hari saya baru mengerti kalau yang dimaksudkan adalah mahasiswa lintas jalur dr tugas belajar berusia 27 sd 44an tahun yang memang kelasnya dicampur dengan anak reguler dari SMA
Pada waktu saya mengikuti opspek di kampus FK Undip di Gunung Brintik dekat RSUP dr Karyadi, yang melelahkan sampe sore disertai dengan tugas keesokan harinya, mas Danang juga ikut ikutan ribut.
" Wis dik, tugase butuhe opo, saiki golek dikancani Mbak Rien neng Sri Ratu Peterongan. Ra sah mikir adus barang "
( Sudah dik, tugasnya butuhnya apa, sekarang juga cari di Sri Ratu Peterongan, ditemani mbak Rien, (kakak mas danang) nggak usah mikir mandi )
Begitulah awalnya, kemudian saya kost di Tembalang, semester akhir sempat tinggal dengan Mbak Chris kakak sepupu di Banyumanik sampai kuliah selesai, sempat kerja di swasta lalu keterima PNS di Yogya, dan saya mendengar kabar kalau beliau sakit gagal ginjal.
Saya yang baru saja menikah waktu itu sempat menengok dengan Pak Gunawan suami saya ke ruang ICU RS Panti Wilasa Citarum Semarang. Sebenarnya tidak tega melihat kondisi beliau waktu itu yang dipenuhi dengan alat alat medis, sehingga untuk berkomunikasi saja kami melakukannya melalui secarik kertas yang beliau tulis dan saya juga gantian menulis.
Sampai akhirnya beberapa bulan kemudian beliau dipanggil menghadapNya pada tahun 2004 dalam usia 39 tahun dan dimakamkan di Pemakaman Umum Trunojoyo Banyumanik Semarang.
Maturnuwun Mas atas segala kebaikannya. Semoga mendapat tempat terbaik disisiNya Amin.
Dan saya mengenang beliau sebagai orang yang pertama kalinya mengenalkan kampus Undip Tembalang kepada saya dan masakan telur bumbu balinya yang enak.
Sleman, 25 Desember 2015,
pk 02.51 dini hari