Sabtu, 30 Juli 2022

KARENA KITA TIDAK SEMPURNA.


Tidak ada keluarga yang sempurna
Kita tidak mempunyai orangtua yang sempurna
Kita bukan orang yang sempurna
Kita tidak menikah dengan orang yang sempurna.
Kita juga tidak memiliki anak yang sempurna.
Itulah sebabnya
Keluarga harus menjadi tempat kehidupan
Bukan sebagai tempat kematian
Keluarga adalah sebuah tempat penyembuhan
Bukan tempat yang membuat kita menjadi sakit
Keluarga sebagai panggung pengampunan
Bukan panggung untuk menunjukkan kesalahan atau saling menyalahkan.
Jangan kita merasa sempurna
Sehingga membuat kita merendahkan pasangan kita
Memang begitulah seharusnya, kita saling menerima apa adanya dan saling melengkapi dalam ketidaksempurnaan kita masing masing
Karena ketidaksempurnaan diri memampukan kita untuk tetap bertahan dalam lindunganNya

TENTANG BELAJAR MENGEMUDI

Repost tulisan di Facebook : 5 Februari 2016

Minggu lalu sejak Rabu sampai Sabtu dik Fajar tidak sekolah karena sakit. Tidak seperti biasanya, kemarin ini sakitnya agak mengkhawatirkan. Anaknya demam tinggi. Diberi penurun panas, turun lalu naik lagi. Begitu terus. Tapi anaknya menggigil kedinginan padahal badannya panas tinggi. Tiap kali makan muntah dan kalau jalan mengeluh sakit, lemas, pusing dan akhirnya tiduran terus. Tapi nggak mau ke dokter karena takut disuntik.
Jumat sore minggu lalu, anaknya mau saya bujuk pergi ke RSU terdekat, karena saya khawatir sekarang lagi musimnya sakit demam berdarah atau kena tipus. Setelah tes darah, memang belum menunjukkan sakit DB atau tidak karena baru 3 hr, namun terindikasi ada infeksi sehingga diberi obat yang mengandung antibiotik dan alhamdulillah sekarang sudah sembuh.
Pada saat dibawa ke RS, anaknya lemas jadi kasihan kalau dibonceng motor sendiri. Belum si bungsu rewel minta ikut juga kakaknya. Jadilah kami semua akhirnya pergi berlima ikut semua. Saya, anak tiga dan mbak PRT.
Sampe disini saya baru menyadari bahwa saya beruntung karena disaat keadaan darurat membutuhkan, saat suami masih di kantor, saya bisa mengatasinya karena saya bisa mengemudikan kendaraan roda empat.
Sebelumnya, selama 3 tahun sejak 2006 sd 2009 saya trauma menyetir mobil akibat insiden menabrak pagar tembok tetangga sampai ambruk. Waktu itu sepulang dari bepergian pada waktu mau masuk gang ke perumahan tempat tinggal kami saat itu, ternyata saat belok ada gundukan pasir di tepi jalan dan ada rombongan anak anak pulang TPA yang lewat. Walhasil karena panik, saya yang mulai belajar nyopir di tahun 2005 reflek membanting setir ke kiri tapi bukannya menginjak rem malah menginjak gas.
Ya sudahlah. Tembok rumah tetangga yang kebetulan kosong itupun ambrol dan bagian depan mobil carry careta waktu itu ringsek. Saya menghabiskan 4 juta untuk servis mobil dan 1,5 jt untuk memperbaiki tembok. Setelah itu saya nggak mau pegang stir lagi, meskipun ayah mau membantu.
Sampai suatu hari di tahun 2009, Pak Suparman pengemudi di kantor saya dalam suatu obrolan menyarankan saya untuk belajar stir dan beliau bersedia membantu. Karena sudah tiga tahun nggak pegang, saya pun mulai belajar dari awal lagi dengan beliau meski awalnya timbul keringat dingin karena ingat kejadian tempo hari
" Bu, untuk lebih mudahnya, bayangkan tubuh kita menyatu dengan kendaraan ini. Dan kitalah yang akan mengendalikannya " begitu saran beliau.
Setelah belajar di lapangan, dilanjutkan selama satu minggu Pak Parman mendampingi saya membawa mobil ke kantor. Jadi beliau dari rumah motornya dititipkan rumah saya. Lalu bersama sama pergi ke kantor dimana saya nyupir dan beliau disamping saya memberi arahan dengan sabar. Begitu juga saat pulang beliau ikut mobil saya
Alhamdulillah dengan semboyan kita bisa karena terbiasa, saya kembali bisa mengemudikan roda 4 sampai sekarang meski nggak berani terlalu kenceng. Dan yang lebih penting saya bisa "Move On" dari kejadian tabrakan waktu itu dan bisa mengatasi masalah disaat membutuhkannya. Tak lupa terimakasih untuk Pak Parman yang banyak membantu saya.

MASJID PANGERAN DIPONEGORO

 Repost tulisan di facebook 7 Februari 2016




Masjid Pangeran Diponegoro Tembalang Semarang merupakan salah satu masjid yang berdiri sejak lama di area sekitar kampus Undip Tembalang. Masjid ini dikenal dengan nama singkatan yaitu MPD yang dikelola oleh yayasan Sultan Trenggono.
MPD merupakan tempat aktifitas keagamaan para mahasiswa Undip kampus Tembalang pada era saya waktu itu sekitar 1993-1999 seperti pengajian, belajar mengaji anak - anak, radio Islam MPD FM dll selain fungsi utama sebagai tempat ibadah sholat. Lokasinya strategis yaitu di perempatan Jl Prof Soedarto Tembalang dekat lapangan bola.
Kini, kampus Undip Tembalang telah memiliki Masjid Universitas Diponegoro atau Masjid Undip yang merupakan masjid milik universitas yang berdiri sejak tahun 2006, sehingga terdapat alternatif pilihan bagi mahasiswa dan masyarakat sekitar untuk melakukan ibadah sehari hari.
Tahun demi tahun berlalu, kami masih berupaya menyambung silaturahmi melalui grup WA alumni PAISPA dan MPD dan teman teman mendirikan Yayasan Bina Fitrah yang juga bergerak dalam pendidikan anak di daerah Gedawang Semarang sejak sekitar tahun 2006 an.
PAISPA adalah singkatan dari Pembinaan Anak anak Islam Masjid Pangeran Diponegoro waktu itu yang mempunyai aktifitas mengajari anak anak mengaji, mentoring dan kreativitas lainnya. Meski kini keberadaannya telah tiada. Tinggallah kenangan akan kebersamaan, pelajaran tentang kehidupan, perjuangan, idealisme, serta persahabatan yang tulus.
(Jadi teringat sahabat kami pembina PAISPA mbak Rooslina almh, alumni Fisika MIPA Undip angkatan 93 asal Lampung yang telah pergi mendahului kami untuk menghadapNya pada tahun 2009an karena musibah kecelakaan di Lampung dengan meninggalkan putranya yang masih bayi saat itu. Semoga mendapatkan tempat terbaik disisiNya dan diampunkan segala kesalahannya. Amin)

Mengenang Mereka yang Telah Pergi (3)

Repost tulisan di Facebook 25 Desember 2015

Makanan yang sedang kita buat atau kita makan seringkali mengingatkan kita kepada seseorang. Demikian pula dengan masakan telur bumbu bali yang pertama kali saya mengenalnya dari kakak sepupu saya, Mas Danang Catur Nugroho (alm) yang telah berpulang lebih 10 tahun yang lalu.

Mas Danang semasa hidupnya gemar memasak makanan sendiri dan cukup enak. Khusus telur bumbu bali, beliau suka tomat yang banyak, sekitar satu kilogram untuk sekali masak.
Suatu hari di pertengahan tahun 1993 setelah saya diterima UMPTN di Kesehatan Masyarakat Undip, Semarang, saya sempat tinggal di rumah budhe Muryani almh di daerah Wonodri Kebondalem, di belakang SMA Sultan Agung Semarang yang cukup dekat dengan kampus Undip Pleburan.
Saya yang waktu itu belum mengenal kota Semarang, mengurus keperluan sebagai mahasiswa baru dari rumah budhe. Setelah menyelesaikan administrasi di kampus pusat Undip Pleburan, lalu dilanjutkan mengurus ke PSKM namanya waktu itu atau Program Studi Kesehatan Masyarakat FK Undip.
" Kampusmu nggak disini dik, tapi di Tembalang, di atas sana. Nanti tak anter " begitu kata Mas Danang waktu itu. Dan dengan angkutan umum kijang warna orange dan dilanjutkan angkutan plat hitam waktu itu, kami berdua pergi ke Undip Tembalang.
Pertama kali turun di lapangan sepakbola di depan kampus D3 politeknik, saya melihat ke sekeliling. Kok sepi sekali ya. Hawanya juga dingin dingin sejuk.
" Memang tempate masih sepi dik, karena ini kampus baru. Tapi besuk tempat ini bakalan rame karena Undip S1 nya mau naik semua ". Jelasnya seolah membaca pikiran saya.
Belum hilang keheranan saya ternyata dari jalan raya, kami masih harus jalan kaki sekitar 300m karena PSKM letaknya di belakang D3 Poltek Undip berdekatan dengan FNGT atau Fak Non Gelar Teknik waktu itu.
" Nanti dek Ndayu cari kost di sekitar sini saja. Biar nggak kejauhan ". Begitu saran mas Danang. Beliau juga sempat bilang sambil guyon, kalo teman saya nanti orangnya sudah tua tua. Di kemudian hari saya baru mengerti kalau yang dimaksudkan adalah mahasiswa lintas jalur dr tugas belajar berusia 27 sd 44an tahun yang memang kelasnya dicampur dengan anak reguler dari SMA
Pada waktu saya mengikuti opspek di kampus FK Undip di Gunung Brintik dekat RSUP dr Karyadi, yang melelahkan sampe sore disertai dengan tugas keesokan harinya, mas Danang juga ikut ikutan ribut.
" Wis dik, tugase butuhe opo, saiki golek dikancani Mbak Rien neng Sri Ratu Peterongan. Ra sah mikir adus barang "
( Sudah dik, tugasnya butuhnya apa, sekarang juga cari di Sri Ratu Peterongan, ditemani mbak Rien, (kakak mas danang) nggak usah mikir mandi )
Begitulah awalnya, kemudian saya kost di Tembalang, semester akhir sempat tinggal dengan Mbak Chris kakak sepupu di Banyumanik sampai kuliah selesai, sempat kerja di swasta lalu keterima PNS di Yogya, dan saya mendengar kabar kalau beliau sakit gagal ginjal.
Saya yang baru saja menikah waktu itu sempat menengok dengan Pak Gunawan suami saya ke ruang ICU RS Panti Wilasa Citarum Semarang. Sebenarnya tidak tega melihat kondisi beliau waktu itu yang dipenuhi dengan alat alat medis, sehingga untuk berkomunikasi saja kami melakukannya melalui secarik kertas yang beliau tulis dan saya juga gantian menulis.
Sampai akhirnya beberapa bulan kemudian beliau dipanggil menghadapNya pada tahun 2004 dalam usia 39 tahun dan dimakamkan di Pemakaman Umum Trunojoyo Banyumanik Semarang.
Maturnuwun Mas atas segala kebaikannya. Semoga mendapat tempat terbaik disisiNya Amin.
Dan saya mengenang beliau sebagai orang yang pertama kalinya mengenalkan kampus Undip Tembalang kepada saya dan masakan telur bumbu balinya yang enak.
Sleman, 25 Desember 2015,
pk 02.51 dini hari

Mengenang Mereka yang Telah Pergi (2)

Repost tulisan di Facebook 9 Desember 2015

Hari senin kemarin sebenarnya saya masih mengambil cuti tahunan kantor, namun berhubung sudah dijadualkan jauh hari, maka hari itu saya tetap pergi ke Badan Diklat DIY untuk menghadiri seminar hasil prajabatan PNS yaitu dik Rismiyati dan Arum Ika Yulianawati dari perekam medis.

Setelah acara selesai jam 10, berhubung cuti saya tidak balik lagi ke kantor. Saya menyempatkan diri jalan jalan sebentar di lingkungan Badan Diklat yang asri di kawasan Gunung Sempu, Kasihan Bantul.
Banyak gedung baru yang dibangun diatas tanah yang konturnya berbukit bukit naik turun mengingatkan saya dengan kota Semarang tempat saya kuliah dahulu.
Di tempat yang merupakan tempat pendidikan dan pelatihannya para PNS DIY ini setidaknya saya sudah dua kali diasramakan disini yaitu waktu pra jabatan sekitar 2-3 minggu rodo lali dan diklat kepemimpinan / diklatpim 4 hampir 1,5 bulan.
Saat diklatpim 4 saya sempat mengalami insiden jatuh dari tangga yang menyebabkan sendi tumit kaki kanan saya patah dan dioperasi lalu dipasang semacam baut / pen sebanyak 2 buah yang sampai sekarang masih bertengger di dalam kaki saya.
Selama hampir 2 bulan saya berjalan menggunakan kursi roda atau tongkat penyangga. Dan selama masa itu atas dorongan teman teman sediklat waktu itu, sekeluar dari RS saya tetap berusaha menyelesaikan kegiatan sampai akhir. Bisa dibayangkan dengan kondisi medan naik turun seperti itu apalagi kamar tidur serta ruang kelas berada di lantai 2.
Dalam keadaan seperti itu teman temanlah yang banyak membantu terutama pak Hari Megeng sang ketua kelas, mbak Maya Gondhokusumo, mbak Jatmi, mb Inti mawarni, Pak Kusno. Pak Lilik, Mbak Yemmy, Bu Made, Pak Aris yang rajin mendorong kursi roda, dll dan terutama Mbak Dwi Lestari Malistiati atau Bu Lis teman sekamar saya dari Disnakertrans atau Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DIY yang setia mengambilkan saya makanan dan minuman ke kamar berhubung tempat makan di gedung menza cukup jauh. Setelah diklat selesai kami tetap berhubungan baik dengan sesama alumni diantara kesibukan kami masing masing.
Namun beberapa waktu yang lalu saat bertemu dengan Pak Karno, kasubbag program Disnakertrans DIY, saya mendapatkan kabar bahwa Bu Lis telah tiada setelah cukup lama berjuang melawan kanker payudara.
Sebelumnya sebenarnya saya sudah mendengar kabar beliau mengundurkan diri sebagai Kasie Perijinan dan sertifikasi pelatihan Disnakertrans DIY, dan kondisinya sudah di rumah terus. Saat itu saya sempat berniat menengoknya sepulang dari suatu acara, namun karena takut kesorean saya mengurungkan niat tersebut. Dan sebelum saya sempat menemuinya, beliau telah dipanggil yang maha kuasa.
Ada perasaan menyesal karena belum sempat bertemu bu Lis untuk terakhir kalinya. Ternyata ketika kita mempunyai niat baik sedapat mungkin niat itu jangan kita tunda tunda sebelum akhirnya kesempatan itu telah pergi.
Selamat jalan bu Lis, semoga mendapatkan tempat terbaik disisi Nya.
Sleman 9 Desember 2015 dini hari

Mengenang mereka yang telah pergi (1)

 

Repost tulisan di facebook 9 Desember 2015

Beberapa hari kemarin entah mengapa saya selalu teringat dengan teman kerja saya, yang sejak beberapa bulan lalu memutuskan untuk pensiun dini setelah sebelumnya sudah tidak aktif bekerja sejak Maret 2013.
Terakhir kali beliau ngantor adalah saat kami, pengurus dan pengawas koperasi mengadakan rapat anggota tahunan/RAT dimana beliau merupakan ketua Pengawasnya. Setelah itu beliau tidak aktif karena sakit yang kemudian diketahui sebagai kanker usus dan kemudian menjalani operasi Kolostomi yaitu pembedahan untuk pembuatan lubang dari usus besar melalui dinding perut untuk mengeluarkan feses.
Proses selanjutnya adalah menjalani kemoterapi sebagaimana penderita kanker pada umumnya. Meski tidak bisa aktif lagi, saat ada undangan acara di kantor seperti halal bihalal, RAT koperasi beliau mengupayakan untuk datang maupun sesekali ke kantor untuk suatu urusan.
Hati saya mulai bertanya tanya saat beliau yang terakhir sebagai Kasubbag Umum di kantor kami, tidak datang memenuhi undangan acara HUT RS. Dan beberapa hari kemarin saya teringat beliau terus sehingga saya mencari nomor kontaknya karena beberapa waktu lalu no kontak di hp saya hilang semua. Dan ternyata ketika sy sms saat kami kumpul rapat koperasi, yang menjawab istrinya bahwa beliau sudah tidak bisa apa apa lagi dan mohon doanya.
Maka Rabu kemarin setelah rapat koperasi yang dilanjutkan rapat verifikasi data penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak ke Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat atau BPPM di Jln Tentara Rakyat Mataram Yogyakarta , saya putuskan untuk mampir ke rumah beliau di Pingit yang kebetulan tidak jauh dari BPPM.
Alangkah terkejutnya saya saat menemui beliau mendapati kondisinya yang sudah sangat memprihatinkan padahal 3 bln yang lalu saat terakhir ke kantor kondisinya masih bagus. Kemarin saya nyaris tidak dapat mengenalinya lagi, sangat kurus sekali dan beliau hanya bisa terbaring lemah dan selalu kesakitan, hanya bisa makan peptisol dan nestle, namun masih bisa diajak komunikasi meskipun terbata bata.
Diketahui bahwa beliau mengalami
Metastasis atau penyebaran kanker dari suatu organ tubuh ke organ tubuh lain, yaitu ke tulang dan hati.
Saat menemuinya beliau menangis, meminta maaf atas segala kesalahan, merasa tidak kuat lagi dan ingin secepatnya dipanggil yang maha kuasa. Sekuat tenaga saya berusaha menahan air mata untuk membesarkan hatinya agar bersabar, berdoa dan berpasrah kepada Allah, walau akhirnya jebol juga dan kami pun bertangisan. Memang siapapun yang melihatnya tidak tega dengan kondisinya saat ini. Beliau yang orangnya baik dan nggak neko neko, harus mendapatkan cobaan seberat itu.
Sorenya dan hari hari berikutnya teman teman di kantor mulai datang menjenguk serta melakukan penggalangan dana untuk meringankan beliau dan keluarganya.
Beliau sendiri adalah seorang difabel yang hanya memiliki satu tangan kanan. Sedang tangan kirinya sejak lahir tidak tumbuh sempurna hanya sebatas lengan saja. Meski begitu beliau banyak berprestasi dalam bulutangkis dan dulu sering mengikuti turnamen olahraga bagi penyandang cacat hingga ke luar negeri seperti korea dan mendapatkan medali emas.
Saya masih ingat, saat kami masih satu unit kerja sebagai staf program, setiap pulang dari turnamen beliau selalu mentraktir teman temannya makan di luar. Dan saat saya melahirkan anak kedua yang lahir sebelum waktunya, baru 8 bulan secara cesar, beliau yang pertamakali menengok dengan pak tri waktu itu ke rumah sakit, mengantarkan berkas yang harus ditandatangani dan membantu mengurus pekerjaan saya di kantor.
Semoga diberikan ketabahan dan kesabaran dan semoga diberikan Nya yang terbaik ya, Pak.
Dan untuk kita semua selalu waspada dengan penyakit kanker yang saat ini semakin banyak penderitanya. Secepatnya berobat saat stadiumnya masih rendah.
Ternyata itulah pertemuan saya dengan beliau untuk yang terakhir kalinya seminggu sebelum beliau menghadap Nya pada hari selasa 8 Desember 2015, pada usia 53 tahun. Innalillahi wa inna ilaihi roojiun
Selamat jalan Pak Surasno, semoga mendapatkan tempat yang terbaik disisiNya, diangkat segala dosa dan kesalahan melalui cobaan sakit selama hampir tiga tahun ini.
Beberapa teman sudah terlebih dahulu meninggalkan dunia ini. Sudahkah kita bersiap diri seandainya tiba saatnya giliran kita nanti?

BERKAH PASIR MERAPI

Repost tulisan di Facebook 6 Maret 2016

Selama beberapa hari berturut turut kemarin, harian Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta menampilkan berita tentang penyelamatan gumuk pasir di pantai Parangtritis dari penambangan liar yang membuat kawasan langka dan unik tsb berkurang dari 20 hektar menjadi 6 hektar yang berujung pada keputusan ditutupnya penambangan gumuk pasir di parangtritis.
Keberadaan gumuk pasir langka sejak puluhan tahun yang lalu tersebut tidak terlepas dari material gunung merapi berupa batu batuan besar dan pasir yang turun melalui sungai yang berhulu di merapi dan semuanya bermuara di pantai selatan, lalu dalam kondisi kering berkumpul membentuk bukit pasir yang luas dan indah.
Namun di satu sisi , daya tarik menjual pasir dari gunung Merapi oleh para penambang membuat gumuk pasir Parangtritis terancam punah.
Disisi lain, erupsi gunung Merapi yang cukup dahsyat pada tahun 2010 yang lalu, selain menimbulkan korban jiwa ratusan orang, beberapa desa terkubur, ribuan pengungsi serta kerugian materi yang tidak sedikit namun juga membawa berkah lain yaitu keberadaan muntahan pasir merapi yang sangat fantastik yang merupakan bahan material kualitas nomor satu yang banyak diburu oleh toko toko bangunan hingga pengiriman keluar kota.
Menurut sumber dari Yogyakarta Tourist Information, jumlah volume pasir yang ditumpahkan ke sekitar gunung dan di 12 sungai yang berhulu di Gunung Merapi tersebut diantaranya sungai Gendol, sungai Boyong, sungai Woro dll tersebut sekitar 140 juta m3, dan itu gratis. Jumlah tersebut apabila dikalikan per meter kubiknya dengan harga pasar, maka nilainya mencapai 7 trilyun rupiah. Tak heran banyak orang yang kemudian ikut ambil bagian dalam penambangan pasir baik legal maupun ilegal untuk turut menuai berkah pasir merapi
Kini, di sepanjang Jalan Pakem Turi Sleman di sepanjang kiri dan kanan jalan banyak berdiri depo pasir baru. Jadi pasir yang diambil dari sungai ditempatkan di suatu tempat yang luas untuk dijual kembali hingga keluar kota. Disatu sisi lalulintas truk bermuatan pasir juga membuat jalan jalan cepat rusak terutama jalan dari Koroulon Ngemplak Sleman ke arah Manisrenggo Klaten yang berkali kali rusak.
Mbak Sri mantan PRT saya dan suaminya mas Wanto adalah salah satu dari sekian orang yang mendapatkan berkah dari pasir merapi. Mbak Sri pernah ikut saya setahun lebih waktu dafa masih bayi juga waktu dik fajar lahir sampai usia 7 bulan. Meski sudah tidak bekerja lagi di tempat saya namun dia masih sering bersilaturahmi ke rumah kami.
Pada waktu erupsi 2010, mbak Sri dan Mas Wanto yang merupakan tetangga mbah Maridjan alm sebenarnya baru saja membangun rumah kecil kecilan disamping rumah mertua. Namun apa daya, rumahnya dan rumah mertuanya serta beberapa desa lainnya lenyap tak berbekas terkubur muntahan lahar, hingga bersama warga lainnya mereka direlokasi pemerintah di hunian tetap / huntap Batur Cangkringan Sleman.
Di hunian barunya yang mirip perumahan itu mbak Sri yang bersekolah sampai klas lima SD namun rajin bekerja ini mencoba membuka laundri dan melayani pelanggan dengan cara jemput bola ke rumah rumah sambil mengurus Sendi anak tunggalnya yang berumur 8 tahun.
Sedangkan suaminya mas Wanto bekerja mencari pasir beserta ratusan penambang lainnya di sekitar sungai Gendol. Berkat keuntungan berlimpah dari penjualan pasir selama beberapa tahun, mas Wanto mempunyai tabungan yang cukup banyak, hingga suatu hari sekitar 1 tahun yang lalu mbak Sri kembali datang ke rumah kami untuk menanyakan kepada Bapak tentang bagaimana caranya membeli mobil.
Bapak waktu itu menasehati bahwa alangkah baiknya tabungan yang diperoleh diputar lagi untuk usaha lain daripada membeli mobil yang memerlukan biaya operasional dan nilainya semakin menurun. Kalau sudah mempunyai penghasilan dari beberapa sumber, barulah memikirkan membeli mobil pribadi.
Beberapa hari yang lalu saya kembali bertemu mbak Sri di toko swalayan Lestari di dekat rumah. Dia cerita kalau tabungannya dulu akhirnya dibelikan 6 ekor sapi yang dibesarkan bersama sama dengan kelompok peternak sapi lainnya di atas tanah bekas rumah mereka dulu yang sekarang dilarang untuk dijadikan tempat tinggal.
Selain itu mas Wanto bersama 7 penambang pasir lainnya patungan membeli sebuah minibus pariwisata yang disewakan kepada masyarakat yang membutuhkan. Untuk transportasi, mbak Sri dan mas Wanto berhasil memiliki dua motor dari beli baru. Adapun kegiatan laundrinya di huntap masih terus berjalan.
Ya, berkah pasir merapi telah merubah kehidupan mbak Sri dan keluarganya menjadi lebih baik yang tentu saja dilalui dengan bekerja keras, karena Alloh SWT tidak akan merubah nasib suatu kaum hingga kaum itu sendiri yang akan merubah nasibnya.
Sleman, Minggu 6 Maret 2016
Pk 16.10 WIB